Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an.
Dalam suatu pertemuan yang melibatkan para aktivis lintas angkatan beberapa hari lalu (2 Mei 2024), dikawasan Mampang, Jakarta Selatan, dr. Hariman Siregar, mantan aktivis Mahasiswa yang ikonik dalam peristiwa 15 Januari (Malari) tahun 1974, menyampaikan pesan yang menggetarkan. Ia menekankan bahwa menjadi seorang aktivis bukanlah hanya tentang berjuang untuk kebenaran, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menghidupi diri sendiri.
Penulis memaknai pesan dr. Hariman sangat relevan terutama mengingat situasi politik saat ini di Indonesia, di mana banyak aktivis dan partai politik tampak enggan untuk menjadi oposisi yang kritis. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang sebelumnya mengkritik pilpres 2024 sekarang terlihat tertarik untuk bergabung dengan kekuasaan yang mereka pernah kritik.
Pesan itu memperkuat pemahaman bahwa untuk menjadi agen perubahan yang efektif, seseorang harus memiliki kemandirian finansial. Hal ini memungkinkan aktivis untuk tetap mempertahankan integritas dan independensi mereka, tanpa harus tergantung pada kekuasaan yang mereka kritik.
Ketika aktivis terjebak dalam lingkaran kekuasaan, jalannya kontrol terhadap pemerintahan menjadi semakin lemah. Hal ini mengancam keberlangsungan demokrasi, karena fungsi oposisi yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan menjadi terdistorsi atau bahkan hilang sama sekali.
Dalam konteks ini, pesan dr. Hariman Siregar adalah pengingat yang penting bahwa menjaga kemandirian finansial merupakan langkah strategis untuk menjaga tegaknya prinsip-prinsip demokrasi. Hanya dengan memiliki kekuatan untuk menghidupi diri sendiri, para aktivis dapat tetap menjadi suara kritis yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran, tanpa harus terjerat oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
Momentum ini harus dijadikan sebagai panggilan bagi semua pihak untuk merefleksikan kembali nilai-nilai yang mendasari perjuangan demokrasi, dan untuk menghargai peran penting dari independensi dalam memperjuangkan kebenaran.
*Ketika Para Penjaga Demokrasi Melemah*
Demokrasi di Indonesia menghadapi ancaman serius karena terlihat bahwa para penjaga demokrasi, khususnya Parpol rival Prabowo – Gibran, beserta kaum aktivis pergerakan, mulai kehilangan idealisme mereka. Setelah memberikan pencerahan dan mengkritik pelanggaran undang-undang serta keputusan Mahkamah Konstitusi selama pilpres 2024, beberapa dari mereka terlihat ingin bergabung dengan pihak yang sebelumnya mereka kritik.
Pelaksanaan pilpres 2024 menyaksikan Parpol serta aktivis-aktivis menyoroti berbagai pelanggaran yang terjadi, menegaskan pentingnya menjaga integritas demokrasi. Namun, ironisnya, setelah pilpres berakhir, terlihat kecenderungan bahwa mereka lebih tertarik untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan daripada tetap sebagai pengawal demokrasi dari luar.
Keinginan untuk bergabung dengan kekuasaan tampaknya telah mengalahkan semangat untuk menjadi oposisi yang kritis dan mempertahankan kebenaran. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem demokrasi, di mana suara-suara yang seharusnya menjadi kontrol dan penyeimbang kekuasaan justru menjadi bagian dari kekuatan yang mereka kritik.
Dampaknya tidak hanya terasa pada keraguan atas keabsahan proses politik, tetapi juga meninggalkan rakyat dalam keadaan sengsara akibat kebijakan yang mungkin tidak lagi mewakili kepentingan mereka secara adil.
Pentingnya mempertahankan independensi dan integritas Parpol dan aktivis pergerakan dalam menjaga demokrasi tidak boleh diabaikan. Mereka harus tetap sebagai suara kritis yang mampu menegakkan keadilan, bahkan jika itu berarti harus berdiri sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, sekalipun jika terjadi tawaran posisi jabatan yang menggiurkan dari penguasa.
_Kalibata City, Pancoran, Jakarta Selatan._