Ironis, Harga Tiket Pesawat Luar Negeri Lebih Murah ?

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed.

Keluhan mahalnya harga tiket pesawat domestik di Indonesia kerap diutarakan warganet di media sosial. Banyak yang merasa heran harga tiket penerbangan dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan penerbangan internasional.

Salah satu sumber yang enggan disebut namanya yang gemar menjelajahi provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa keindahan alam Indonesia sangat luar biasa. Namun, untuk mencapai destinasi-destinasi tersebut, dia harus menyiapkan anggaran besar. Perkiraannya, minimal Rp.5 juta diperlukan untuk tiket pulang-pergi. Misalnya, dia pernah membeli tiket Jakarta-Tarakan seharga Rp.2 juta sekali jalan. Sebaliknya, dia bisa mendapatkan tiket ke Kuala Lumpur hanya seharga Rp500.000.

Kejutan ini menunjukkan betapa besar perbedaan harga tiket domestik dengan internasional, meskipun durasi penerbangannya serupa. Akibatnya, meski memiliki kecintaan besar terhadap keindahan alam Indonesia, dia merasa harga tiket domestik sangat mahal.

Hal lain diutarakan seorang warga Jakarta mengungkapkan bahwa dia lebih sering memilih bepergian ke luar negeri dibandingkan dalam negeri. Menurutnya, harga tiket domestik sangat tinggi. Contohnya, tiket Jakarta-Bali bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta sekali jalan pada hari libur, sedangkan dengan harga yang sama, dia bisa terbang ke Thailand, Bangkok, atau Malaysia. Di luar harga tiket, biaya hotel dan makanan di luar negeri juga serupa dengan di Bali, membuat perjalanan ke luar negeri menjadi pilihan yang lebih ekonomis.

Masalah lain yang sering dihadapi adalah keterlambatan penerbangan atau perubahan jadwal mendadak oleh maskapai domestik. Hal ini membuat orang lebih memilih bepergian ke luar negeri.

Meski demikian, banyak yang tetap berharap bisa menjelajahi pulau-pulau indah di Indonesia bagian timur suatu hari nanti, jika harga tiket pesawat domestik sudah lebih terjangkau. Namun, untuk saat ini, mereka lebih memilih destinasi luar negeri karena biaya yang lebih masuk akal dan pengalaman yang lebih beragam.

Secara keseluruhan, mahalnya harga tiket pesawat domestik di Indonesia menjadi hambatan utama bagi banyak orang untuk menjelajahi keindahan alam dalam negeri. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap komponen biaya yang mempengaruhi harga tiket ini agar lebih banyak orang bisa menikmati kekayaan alam Indonesia tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar.

*Penyebab Harga Tiket Pesawat Mahal*

Dari berbagai sumber terpercaya (18 Juli 2024), sejumlah pengamat sepakat bahwa harga tiket pesawat domestik lebih mahal daripada tiket pesawat internasional.

Harga tiket pesawat terdiri dari dua komponen utama. Pertama, biaya yang ditanggung maskapai seperti sewa pesawat, pemeliharaan, asuransi, rekrutmen kru, pelatihan pilot, pembelian suku cadang, dan bahan bakar. Kedua, pungutan dari pemerintah seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, retribusi bandara, dan biaya “titipan” dalam harga avtur seperti “throughput fee”.

Pengeluaran terbesar maskapai adalah bahan bakar avtur, yang mencapai 40%-50% dari total biaya. Maskapai di Indonesia juga sering menyewa pesawat dari perusahaan luar negeri, yang menilai “insiden kecelakaan di Indonesia cukup tinggi”, sehingga harga sewa pesawat menjadi lebih mahal dibanding negara lain.

Biaya-biaya yang ditanggung maskapai hanya 60%-70% dari harga tiket yang dibayar penumpang. Pungutan pemerintah juga berkontribusi besar terhadap tingginya harga tiket. Sebagai contoh, dari harga tiket Rp800.000 ke Yogyakarta, hanya Rp540.000 yang masuk ke maskapai setelah dipotong berbagai pungutan dan pajak.

Tingginyq harga tiket penerbangan domestik akibat harga avtur dikenakan PPN 11% dan 0,25% oleh BPH Migas, sementara penerbangan internasional tidak dikenakan pajak ini, sehingga ini bisa menghambat program pariwisata nasional dalam negeri terhambat.

Retribusi bandara yang naik tiap dua tahun tidak sebanding dengan peningkatan pelayanan. Fasilitas seperti garbarata dan pelayanan bagasi sering kali tidak memadai.

Kementerian Perhubungan mengakui bahwa selain biaya operasional maskapai, ada pajak-pajak yang menambah besar harga tiket. Masalah tarif ini harus dibahas lintas sektoral. Penurunan harga tiket bergantung pada penurunan komponen tarif seperti harga avtur, suplai pesawat yang lebih banyak, dan evaluasi terhadap pajak yang diterapkan.

*Biaya Ganda di Pangkalan Udara Militer seperti Halim Perdana Kusuma dan Juanda*

Dari hasil penelusuran penulis mendapat informasi terkait adanya biaya ganda pada pangkalan udara militer seperti Halim Perdana Kusuma di Jakarta dan Juanda di Surabaya menerapkan “biaya ganda” bagi maskapai yang menggunakan fasilitas tersebut. Ini berarti maskapai harus membayar biaya kepada dua pihak berbeda: otoritas bandara sipil dan otoritas militer setempat (Danlanud).

Untuk otoritas Bandara Sipil, biaya operasional dan layanan seperti pendaratan, parkir pesawat, dan penggunaan terminal penumpang. Sedangkan otoritas Militer (Danlanud), terdapat biaya tambahan untuk izin penggunaan wilayah udara militer, keamanan, dan fasilitas yang dikelola oleh pihak militer.

Hal itu menimbulkan dampak biaya ganda, peningkatan Biaya Operasional. Maskapai harus menanggung dua set biaya yang berbeda. Biaya tambahan ini dibebankan kepada penumpang, membuat harga tiket pesawat domestik lebih mahal.

Terkait ini Pemerintah perlu meninjau kebijakan ini untuk mengurangi beban finansial maskapai dan menurunkan harga tiket pesawat domestik agar konsumen tidak terbebas, mengingat anggaran negara untuk masing-masing instansi sudah dialokasikan dalam APBN.

*Sewa Pesawat Tinggi dan Akibat Tingginya Resiko Penerbangan Indonesia.*

Maskapai di Indonesia sering menyewa pesawat dari perusahaan luar negeri, yang menilai “insiden kecelakaan di Indonesia cukup tinggi”, sehingga harga sewa pesawat menjadi lebih mahal dibanding negara lain.

Penerbangan di Indonesia sering kali dianggap memiliki risiko tinggi oleh perusahaan leasing pesawat karena beberapa alasan, termasuk sejarah kecelakaan pesawat dan masalah terkait keselamatan penerbangan. Berikut adalah beberapa contoh konkrit dan tanggal peristiwa yang menunjukkan mengapa risiko ini dinilai tinggi.

1. Kecelakaan Lion Air JT610 (29 Oktober 2018).
Pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Pangkal Pinang. Semua 189 penumpang dan awak pesawat tewas.
Investigasi menemukan bahwa masalah pada sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) berkontribusi pada kecelakaan ini.

2. Kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 (9 Januari 2021).
Pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air jatuh di Kepulauan Seribu tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Pontianak. Semua 62 penumpang dan awak pesawat tewas.
Investigasi awal menunjukkan adanya masalah teknis yang mungkin menjadi faktor penyebab, tetapi laporan akhir menyatakan bahwa kegagalan dalam pengelolaan manual pesawat oleh kru berperan dalam kecelakaan.

3. Kecelakaan AirAsia QZ8501 (28 Desember 2014).
Pesawat Airbus A320-200 milik AirAsia Indonesia jatuh di Laut Jawa dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapura, menewaskan semua 162 penumpang dan awak pesawat.
Investigasi menemukan bahwa kerusakan pada sistem rudder control dan respons tidak tepat dari kru menyebabkan kecelakaan ini.

4. Kecelakaan Adam Air KI574 (1 Januari 2007).
Pesawat Boeing 737-400 milik Adam Air jatuh di Selat Makassar dalam penerbangan dari Surabaya ke Manado, menewaskan semua 102 penumpang dan awak pesawat.
Investigasi menunjukkan bahwa kegagalan sistem navigasi inertial dan ketidakmampuan kru untuk mengendalikan pesawat menjadi penyebab kecelakaan.

5. Kecelakaan Garuda Indonesia GA200 (7 Maret 2007).
Pesawat Boeing 737-400 milik Garuda Indonesia mengalami kecelakaan saat mendarat di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, menyebabkan 21 orang tewas dari 140 penumpang dan awak pesawat.
Investigasi menemukan bahwa kecepatan pendaratan yang terlalu tinggi dan kegagalan pilot untuk mengelola situasi darurat menyebabkan kecelakaan ini.

Masalah Pemeliharaan. Ada kekhawatiran tentang standar pemeliharaan pesawat di beberapa maskapai Indonesia. Masalah dalam pelatihan pilot dan kru yang memadai juga menjadi perhatian.
Regulasi dan Pengawasan. Ketidakpatuhan terhadap regulasi penerbangan internasional dan kurangnya pengawasan ketat oleh otoritas terkait di Indonesia.

Kejadian-kejadian ini telah berkontribusi pada persepsi risiko tinggi dalam industri penerbangan Indonesia. Meskipun banyak maskapai di Indonesia telah mengambil langkah untuk meningkatkan standar keselamatan dan mengurangi risiko, reputasi masa lalu masih mempengaruhi penilaian risiko oleh perusahaan leasing dan asuransi, yang berdampak pada biaya sewa pesawat yang lebih tinggi.

_Kalibata, Jakarta Selatan, 20 Juli 2024, 10:09 Wib._

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *