Kasus Salah Tangkap Pegi Setiawan dan Tanggung Jawab POLRI ?

Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an.

Kasus salah tangkap bukanlah fenomena baru dalam sistem penegakan hukum di Indonesia maupun di banyak negara lainnya. Salah satu contoh terbaru adalah kasus Pegi Setiawan, yang menjadi korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon (2016). Dalam proses penangkapan para terduga pelaku pembunuhan, aparat Kepolisian Cirebon diduga melakukan malpraktek. Pengadilan Tinggi Jawa Barat akhirnya memvonis bebas Pegi Setiawan dari tuduhan tersebut. Kepolisian serta jajaran lembaga hukum lainnya harus segera membebaskan Pegi Setiawan dan mengeluarkannya dari sel tahanan.

Muhtar Efendi, anggota tim kuasa hukum Pegi, menyatakan bahwa Pegi tidak pernah diperiksa oleh polisi sebagai saksi sejak 2016 hingga ditetapkan sebagai tersangka pada 21 Mei 2024. Pegi Setiawan baru mengetahui dirinya menjadi tersangka setelah ditangkap pada tanggal yang sama di Bandung. Polisi mengklaim bahwa Pegi Setiawan adalah Pegi Perong, buronan mereka selama delapan tahun. Namun, Pegi secara mengejutkan membantah tuduhan tersebut dengan berteriak di hadapan wartawan.

Dari berbagai sumber terpercaya bahwa kasus salah tangkap sering kali terjadi akibat beberapa faktor, antara lain, identifikasi yang salah oleh saksi mata. Kesalahan dalam pengumpulan dan analisis bukti forensik.

Kemudian salah tangkap mungkin akibat adanya tekanan untuk menyelesaikan kasus. Tekanan dari atasan atau publik untuk segera menyelesaikan kasus, yang mendorong aparat penegak hukum untuk mengambil jalan pintas.

Kalau saja seluruh jajaran anggota kepolisian RI melaksanakan arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait prosedur penangkapan pelaku kejahatan yang lebih saintifik mengedepankan prosedur ilmiah dan kemanusiaan tentu kejadian Pagi Setiawan tidak terjadi.

Dengan melaksanaan arahan Kapolri tentu bukan hal yang mustahil ketidakmampuan atau Kelalaian Petugas oleh kurangnya pelatihan yang memadai bagi petugas kepolisian dalam menangani investigasi kriminal dapat teratasi dengan baik sehingga kepercayaan dan keterlindungan warga oleh Polri sangat terasa.

Tak dipungkiri bahwa faktor-faktor salah tangkap oleh adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi, sehingga mendorong manipulasi bukti atau kesaksian oleh petugas penegak hukum yang korup. Keterlibatan politik atau tekanan dari pihak berwenang yang lebih tinggi untuk menjadikan seseorang kambing hitam. Namun demikian hal negatif tersebut dapat di eliminering dengan menerapkan arahan Kapolri.

Bisa saja salah tangkap diakibatkan oleh Undang-Undang yang tidak Memadai. Undang-undang yang kurang tegas dalam melindungi hak-hak tersangka, serta kurangnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas terhadap tindakan aparat penegak hukum. Jika memang hal ini terjadi tentu Kapolri dan pihak terkait perlu segera meresponnya lebih komprehensif. Hal ini sangat mungkin bisa dilakukan, mengingat arahan Kapolri terkait prosedur penangkapan telah mengesankan adanya niat baik Polri.

*Mencegah Kasus Salah Tangkap dan Kompensasi*

Sebelum adanya kasus salah tangkap Pegi Setiawan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telag mengarahkan seluruh anggota kepolisian untuk mengadopsi pendekatan ilmiah dan kemanusiaan dalam prosedur penangkapan. Arahan ini bertujuan untuk mengurangi kesalahan penangkapan dan memastikan hak asasi manusia dihormati. Terkait proses hukum perlu dilakukan pendekatan ilmiah, optimalisasi teknologi, seperti pengenalan wajah. Selain itu juga diperlukan peningkatan kemampuan forensik anggota kepolisian, kolaborasi dengan lembaga penelitian dan universitas, serta menjunjung tinggi hak-hak tersangka, dan menghindari kekerasan dalam interogasi.

Barangkali setelah dilakukannya evaluasi mendalam, jika dirasakan perlu adanya perbaikan aturan di internal Polri, maka bisa saja dilakukan Reformasi Prosedur Hukum. Guna menetapkan standar yang lebih ketat untuk penangkapan dan penahanan, termasuk bukti yang lebih kuat sebelum seseorang bisa ditahan, serta memperbaiki prosedur identifikasi oleh saksi mata dengan memastikan penggunaan teknik forensik yang lebih canggih dan akurat.

Selain itu jajaran Polri dapat melakukan peningkatan pelatihan bagi aparat penegak hukum tentang investigasi kriminal, hak asasi manusia, dan teknik interogasi yang etis. Dengan mnyediakan pelatihan berkelanjutan untuk memastikan bahwa petugas selalu up to date dengan metode dan teknologi terbaru.

Pada level kebijakan dapat dimungkinkan keterlibatan badan pengawas independen yang dapat menyelidiki kasus-kasus salah tangkap agar memastikan akuntabilitas dari aparat penegak hukum yang memadai. Sehingga memastikan hukuman yang diambil merupakan keputusan yang tegas bagi petugas yang terbukti melakukan kesalahan prosedural atau penyalahgunaan kekuasaan.

*Tanggung Jawab Polri terhadap Korban Salah Tangkap*

Agar rpposes hukum berdiri diatas keadilan dan kemanusiaan maka Polri perlu menyediakan kompensasi finansial yang memadai bagi korban salah tangkap untuk menutupi kerugian finansial yang dialami selama penahanan. Membersihkan nama baik korban melalui pernyataan publik dan publikasi permintaan maaf di media massa.

Selain itu Polri dapat menyediakan layanan konseling dan terapi psikologis untuk membantu korban pulih dari trauma yang dialami. Sehingga peran Polri tidak semata menegakkan hukum namun juga menyentuh pada aspek kemanusiaan dengan membantu korban dalam reintegrasi sosial dan dunia kerja melalui program pelatihan dan bantuan penempatan kerja.

Terkait korban salah tangkap, Polri selain membebaskan korban dari hukuman juga perlu memberikan kompensasi. Salah satunya menyediakan kompensasi finansial yang memadai bagi korban salah tangkap dan keluarga mereka. Menyediakan layanan dukungan psikologis dan medis untuk membantu korban pulih dari trauma yang dialami.

Meningkatkan transparansi dalam proses investigasi dan penanganan kasus kriminal. Memastikan bahwa publik memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi terkait kasus-kasus kriminal dan prosedur penegakan hukum.

Merevisi undang-undang yang terkait dengan penangkapan dan penahanan untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak tersangka. Memastikan adanya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang kuat dalam sistem peradilan pidana.

*Contoh Kasus Salah Tangkap*

Kasus salah tangkap pernah terjadi pada Kasus Siyono (2016), seorang warga Klaten, ditangkap oleh Densus 88 pada Maret 2016. Dia meninggal dunia dalam tahanan setelah beberapa hari. Kepolisian membayar kompensasi sebesar Rp 100 juta kepada keluarga Siyono.

Kasus Ricky Jackson (2014) yang dipenjara selama 39 tahun atas tuduhan pembunuhan yang tidak dilakukannya. Dia dibebaskan pada November 2014 setelah saksi utama mencabut keterangannya. Jackson menerima kompensasi finansial sebesar $1 juta dari negara bagian Ohio, Amerika Serikat.

Barry George (2007), dipenjara selama delapan tahun atas tuduhan pembunuhan jurnalis Jill Dando. Dia dibebaskan pada tahun 2007 setelah pengadilan menemukan bahwa bukti tidak cukup kuat untuk mendukung tuduhan tersebut. George mengajukan klaim kompensasi sebesar £1,4 juta, tetapi pemerintah menolaknya.

Kasus Iwao Hakamada (2014) dipenjara selama 48 tahun dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan pembunuhan. Dia dibebaskan pada tahun 2014 setelah pengadilan menemukan bahwa bukti DNA tidak mendukung tuduhan tersebut.

*Hukuman bagi Aparat Kepolisian yang Melakukan Kesalahan*

Guna penegakkan hukum yang adil dan seimbang maka perlu dilakukan penyelidikan internal yang mendalam terhadap tindakan aparat yang terlibat dalam kasus salah tangkap dengan memberikan sanksi disipliner yang sesuai, seperti skorsing, penurunan pangkat, atau pemecatan.

Menuntut aparat yang terbukti melakukan kesalahan yang mengandung unsur pidana, seperti pemalsuan bukti atau penyiksaan, melalui proses pengadilan yang transparan dan tegas. Aparat yang bersalah diperlukan mengikuti pelatihan ulang yang fokus pada etika profesional dan hak asasi manusia, serta melakukan evaluasi psikologis dan memberikan konseling.

Memberikan perlindungan hukum bagi individu yang melaporkan tindakan salah dari aparat penegak hukum dan menjamin akses yang mudah dan gratis bagi korban untuk mendapatkan bantuan hukum.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan kasus-kasus salah tangkap dapat diminimalisir dan keadilan bagi semua warga negara dapat terwujud.

_Kawasan Palasari, Bandung, Rabu 10 Juli 2024, 08:09 Wib._

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *