Oleh: Agusto Sulistio
Oligarki, kelompok kecil yang mengendalikan kekuatan besar negara, telah menjadi pusat kekuasaan di Indonesia, khususnya selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Para taipan, dikenal sebagai Sembilan Naga, mendukung Jokowi sejak awal karir politiknya dan mengendalikan banyak aspek kebijakan dan ekonomi nasional.
Pemasangan Jokowi dan Pengaruh Taipan
Luhut Binsar Pandjaitan, didukung oleh Hendropriyono, menjadi operator utama dalam strategi politik Jokowi. Mereka memastikan Jokowi naik dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI. Pada saat yang sama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diandalkan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan, namun kasus penistaan agama tahun 2016 yang melibatkannya mengakhiri harapannya menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017.
Sejak 2014 hingga 2024, para taipan ini berada di belakang kebijakan Jokowi, mengakibatkan terbentuknya kartel di berbagai sektor ekonomi. Mulai dari telekomunikasi, listrik, kelapa sawit, batu bara, hingga pangan. Mereka menguasai politik dengan membiayai kampanye Pilkada dan Pilpres, menciptakan ketergantungan para pemimpin pada para pemilik modal.
Pengendalian Hukum dan Politik oleh Oligarki
Penegakan hukum pun tidak lepas dari pengaruh oligarki. Mulai dari Polri, Kejaksaan, KPK, hingga peradilan, semua dikendalikan sesuai kepentingan mereka. Ferdy Sambo, di bawah Tito Karnavian sebagai Kapolri saat itu, berhasil mengumpulkan dana besar dari bisnis hitam seperti narkoba, minuman keras, judi, dan prostitusi untuk kampanye Pilpres 2019. Sebagai imbalan, Tito Karnavian diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri, meskipun Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan merasa kesal karena posisi ini seharusnya untuk partainya.
Proyek Strategis Nasional dan Kepentingan Taipan
Kebijakan terbaru yang menunjukkan cengkeraman oligarki adalah penetapan status Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk proyek BSD (Bumi Serpong Damai) milik Sinarmas dan PIK (Pantai Indah Kapuk) milik Sugianto Kusuma (Aguan) dan Anthony Salim. Di bawah kebijakan ini, tanah di 9 kecamatan Kabupaten Tangerang dan Serang dibebaskan secara paksa dengan harga jauh di bawah NJOP, menyebabkan teror dan penderitaan bagi warga yang tergusur.
Said Didu yang mengungkap kebijakan ini dilaporkan ke polisi, dan Alvin Lim, seorang pengacara yang membongkar pendanaan proyek ini untuk IKN (Ibu Kota Nusantara), belum jelas nasibnya. Kebijakan ini menunjukkan sifat manipulatif dan despotik Jokowi, yang memanfaatkan dana PSN untuk proyek IKN tanpa memikirkan dampak bagi rakyat yang digusur.
Dampak Kebijakan dan Masa Depan di Bawah Prabowo Subianto
Kebijakan yang tidak memikirkan dampak sosial ini telah menambah jumlah kemiskinan dan memperparah ketimpangan. Rakyat yang tergusur dengan tanah seluas 200 m2 hanya mendapatkan uang Rp10 juta, yang tidak cukup untuk memulai kehidupan baru. Anak-anak mereka harus pindah sekolah, dan biaya hidup pun meningkat.
Oligarki telah menguasai presiden, partai politik, penegak hukum, dan DPR, menciptakan kartel ekonomi dan mafia hukum. Prabowo Subianto, yang akan memimpin pasca Oktober 2024, harus membebaskan negara ini dari cengkeraman oligarki agar dapat memulihkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Sumber:
1. “Strategi Oligarki dalam Politik Indonesia,” Tempo, 15 Januari 2020.
2. “Kasus Penistaan Agama Ahok dan Dampaknya,” Kompas, 24 April 2017.
3. “Pengaruh Taipan di Era Jokowi,” CNBC Indonesia, 5 Juli 2023.
4. “Proyek Strategis Nasional dan Kepentingan Taipan,” Republika, 20 Maret 2024.
5. “Manipulasi Dana PSN untuk IKN,” Tempo, 10 Juli 2024.