Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed.
Kerusakan ekologi di Indonesia, yang semakin parah akibat kebijakan ekonomi yang lebih berpihak kepada kekuatan modal, menjadi sorotan utama dalam Rembuk Kebangsaan Senator ProDEM (Jakarta, 13 Agustus 2024). Salah satu pandangan kritis penulis dan Senator Prodem lainnya: Sirra Prayuna, Ultra Shahbunan, Mochtar Sindang, Bob Randilawe, Bob Wayan, Gde Siriana, Swary Utami, Febby, Stya Darma, dll, dalam sidang komisi ekologi, seni dan budaya pada Rembuk Musyawarah ini menyoroti pada orientasi ekonomi yang tidak berbasis pada ekonomi kerakyatan. Penulis mengistilahkan ekonomi nasional hanya berorientasi pada GNP (Gross National Product), yang menghitung total nilai barang dan jasa dalam suatu negara. Pendekatan ini cenderung mengabaikan kesejahteraan rakyat dan kelestarian alam. Sebaliknya, konsep GNH (Gross National Happiness) menawarkan pendekatan yang lebih holistik, mengutamakan kesejahteraan manusia dan lingkungan.
GNP fokus pada ukuran ekonomi melalui pendapatan dan produksi barang dan jasa. Konsep ini sering mengesampingkan aspek kesejahteraan manusia, sosial, dan lingkungan. Sebaliknya, GNH, yang pertama kali diperkenalkan oleh Bhutan, wilayah pegunungan Himalaya, mengukur keberhasilan suatu negara berdasarkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat, mencakup aspek sosial, budaya, dan keseimbangan alam / ekologi. GNH menekankan bahwa pembangunan harus berkelanjutan dan selaras dengan alam, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi.
*Seni, Budaya, dan Ekologi*
Kerusakan ekologi di Indonesia juga erat kaitannya dengan upaya menggeser nilai-nilai seni dan budaya yang seharusnya menjadi penyangga utama dalam menjaga alam. Seni dan budaya bukan hanya ekspresi identitas, tetapi juga instrumen untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Dalam banyak kebudayaan, alam dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ritual-ritual adat, kesenian tradisional, dan cerita rakyat sering kali mengandung pesan tentang kelestarian alam, seperti larangan merusak hutan atau sungai yang dianggap suci.
Namun, modernisasi yang tidak terkendali dan kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada keuntungan telah menyebabkan banyak tradisi ini terpinggirkan. Nilai-nilai yang dulunya memandu masyarakat dalam menjaga keseimbangan alam kini digantikan oleh pola pikir konsumtif dan eksploitasi. Hal ini mengakibatkan degradasi lingkungan yang semakin parah.
*Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur di Era Jokowi: Antara Harapan dan Realita*
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur yang masif menjadi salah satu prioritas utama. Proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, dan kereta api cepat dilakukan dengan harapan dapat membangkitkan industri, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, dampak yang dihasilkan ternyata tidak sesuai dengan harapan, bahkan menimbulkan berbagai masalah baru, termasuk krisis ekologi, pelanggaran terhadap budaya lokal, dan beban utang luar negeri yang meningkat.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif ini telah membebani Indonesia dengan utang luar negeri yang besar. Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga akhir 2023, total utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar USD 420 miliar, meningkat signifikan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Pertumbuhan utang ini sebagian besar didorong oleh pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang memerlukan investasi besar, namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup untuk membayar utang tersebut.
Selain itu, rasio utang terhadap PDB Indonesia juga meningkat, mencapai sekitar 40% pada tahun 2023, yang menunjukkan bahwa beban utang menjadi semakin berat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan Indonesia untuk membayar kembali utang tersebut tanpa mengorbankan sektor lain yang lebih penting, seperti pendidikan dan kesehatan.
Prinsip dasar pembangunan infrastruktur yang diharapkan dapat membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata tidak terbukti secara signifikan. Meskipun proyek-proyek infrastruktur besar telah dibangun, dampaknya terhadap pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan tidak sebesar yang diharapkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2023 masih berada di angka 5,86%, hanya sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, tingkat kemiskinan juga masih tinggi, dengan sekitar 9,57% atau lebih dari 26 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Salah satu contoh konkret adalah proyek pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa, yang meskipun telah menghubungkan berbagai wilayah di Jawa, namun tidak serta-merta menciptakan lapangan kerja baru yang signifikan. Sebaliknya, banyak pelaku usaha kecil yang tergeser oleh pembangunan tol ini, karena perubahan arus lalu lintas yang mengurangi kunjungan ke bisnis-bisnis lokal yang sebelumnya menjadi penghidupan masyarakat setempat.
Proyek-proyek infrastruktur ini juga sering kali mengabaikan kelestarian alam dan budaya lokal. Misalnya, pembangunan proyek PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang telah mengancam habitat orangutan Tapanuli dan merusak hutan adat yang dijaga oleh masyarakat lokal selama berabad-abad. Selain itu, pembangunan jalan tol Trans-Papua telah memotong hutan-hutan adat dan mengganggu kehidupan masyarakat adat Papua yang sangat bergantung pada hutan untuk kehidupan mereka.
Masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia, yang dikenal merawat alam dengan warisan nenek moyang mereka, kini menghadapi ancaman besar terhadap kelestarian budaya dan lingkungan mereka. Pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan nilai-nilai budaya ini tidak hanya merusak alam, tetapi juga menghilangkan identitas budaya yang telah terpelihara selama berabad-abad.
Ambisi Jokowi dalam Proyek IKN
Ambisi besar Presiden Joko Widodo untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur merupakan salah satu proyek infrastruktur paling ambisius di era pemerintahannya. Namun, proyek ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampaknya terhadap lingkungan hidup serta kedaulatan negara.
Proses pemindahan ibu kota ini diproyeksikan akan mengubah 256.000 hektar lahan menjadi kawasan metropolitan baru. Kalimantan Timur, yang dikenal sebagai paru-paru dunia karena hutan hujannya yang luas, kini menghadapi risiko deforestasi yang besar akibat proyek ini. Hutan-hutan yang menjadi habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna, termasuk yang terancam punah, akan terganggu atau bahkan hilang sama sekali.
Selain itu, pembangunan infrastruktur masif di kawasan ini dikhawatirkan akan memperburuk krisis iklim global, dengan meningkatnya emisi karbon dan kerusakan ekosistem. Alih-alih menjadi solusi bagi permasalahan di Jakarta seperti banjir dan kemacetan, pemindahan ibu kota ini justru berpotensi menimbulkan masalah lingkungan baru yang lebih serius.
Salah satu kebijakan kontroversial terkait proyek IKN adalah pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor selama 190 tahun. Kebijakan ini memicu kekhawatiran bahwa kedaulatan negara atas tanah dan sumber daya alam di kawasan ibu kota baru tersebut akan terancam. Dengan memberikan hak penggunaan lahan dalam jangka waktu yang sangat lama kepada pihak swasta, pemerintah berisiko kehilangan kendali atas pengelolaan sumber daya alam di kawasan tersebut.
Selain itu, kebijakan ini juga membuka peluang besar bagi masuknya kepentingan asing yang dapat merusak kedaulatan nasional. Sejarah telah menunjukkan bahwa kepemilikan asing atas tanah dan sumber daya alam sering kali menimbulkan ketegangan sosial dan politik, serta merugikan masyarakat lokal yang kehilangan akses terhadap sumber daya yang seharusnya menjadi hak mereka.
*Contoh Negara yang Berhasil Menjaga Ekologi dengan Seni dan Budaya*
Beberapa negara telah berhasil menjaga ekologi dengan mempertahankan dan mengintegrasikan seni dan budaya dalam kebijakan lingkungan mereka:
1. *Bhutan, Wilayah Pegunungan Himalaya*: Sebagai pelopor konsep GNH, Bhutan terlepas dari isu yang melekat, ia mampu menempatkan kelestarian lingkungan sebagai pilar utama pembangunan. Seni dan budaya di Bhutan sangat erat kaitannya dengan penghormatan terhadap alam. Festival-festival tahunan seperti Paro Tsechu, selain sebagai perayaan spiritual, juga mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan.
2. *Jepang*: Jepang berhasil mengharmoniskan modernisasi dengan kelestarian budaya dan lingkungan. Konsep tradisional seperti “Satoyama,” yang berarti lanskap pedesaan di mana manusia hidup selaras dengan alam, terus dipertahankan. Ini terlihat dalam praktik pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan, serta upacara tradisional yang menghormati alam, seperti Hanami (melihat bunga sakura) yang mencerminkan apresiasi mendalam terhadap perubahan musim.
3. *Bali, Indonesia*: Meskipun Bali juga menghadapi tantangan ekologis, pulau ini tetap menjadi contoh bagaimana seni dan budaya dapat memainkan peran penting dalam pelestarian lingkungan. Upacara-upacara seperti “Tumpek Uduh” menunjukkan penghormatan kepada pohon dan tanaman, yang dianggap sebagai penopang kehidupan. Nilai-nilai ini diajarkan sejak dini, dan tercermin dalam praktik sehari-hari masyarakat Bali.
*Kesimpulan*
Kerusakan ekologi di Indonesia bukan hanya akibat kebijakan ekonomi yang tidak adil, tetapi juga karena pergeseran nilai-nilai seni dan budaya yang seharusnya menjadi penuntun dalam menjaga alam. Kebijakan pembangunan di era Jokowi, meskipun memiliki tujuan meningkatkan perekonomian, sering kali mengabaikan dampaknya terhadap ekologi, budaya, dan kesejahteraan rakyat. Proyek infrastruktur yang diharapkan dapat mengangkat ekonomi, dalam kenyataannya, telah membebani negara dengan utang luar negeri yang besar dan tidak berhasil mengurangi tingkat pengangguran serta kemiskinan secara signifikan. Mengembalikan nilai-nilai seni dan budaya serta mengintegrasikannya dalam kebijakan lingkungan dan ekonomi bisa menjadi langkah penting untuk menghadapi krisis ini.
_Kebon Raya Bogor, Jawa Barat, Kamis 15 Agustus 2024, 07.36 Wib._