Dewan Pakar KPA, Soroti Komitmen Presiden Soal Agraria

Komitmen presiden terhadap agraria

Ket Photo: Agustiana, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Jakarta, Presiden Prabowo, dalam rapat kabinet perdananya, menegaskan kembali komitmennya terhadap kedaulatan nasional dari sudut pandang agraria dan sumber daya alam. Pernyataan ini mendapat tanggapan positif dari Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Agustiana. Menurut Agustiana, apa yang disampaikan Presiden Prabowo menjadi solusi fundamental dalam menjaga keberlanjutan kehidupan, terutama bagi negara agraris dan berkembang seperti Indonesia. Diskusi ini turut menjadi topik dalam forum agraria Asia Tenggara yang berlangsung di Pangandaran, Jawa Barat, yang dihadiri oleh aktivis agraria se-Asia Tenggara serta pengamat agraria dari negara Amerika Latin dan Brasil.

Komitmen Pemerintah di bidang Agraria

Di tengah kesibukannya, Agustiana mengungkapkan kepada media bahwa pernyataan Presiden Prabowo merefleksikan keinginan dan visi yang memberikan harapan positif dan progresif. Visi ini mencakup penataan sumber daya agraria dan alam untuk menjamin ketahanan pangan, akses masyarakat agraris terhadap alat produksi, dan keseimbangan ekologis guna menghindari bencana lingkungan. Ia menekankan bahwa tujuan tersebut sangat relevan bagi masyarakat agraris, yang mencakup 59% populasi Indonesia, seperti petani, nelayan, masyarakat adat, dan pengusaha pangan. Penataan sumber daya agraria yang tepat juga dianggap penting dalam meningkatkan pendapatan negara untuk pembangunan serta sebagai cadangan kebutuhan di masa depan, khususnya dalam sektor industri, perdagangan, dan pengembangan perkotaan.

Namun, Agustiana mengingatkan bahwa keberhasilan komitmen ini tidak dapat hanya bergantung pada kementerian atau staf pemerintahan. Ia mengusulkan pembentukan lembaga khusus atau “Dewan Pertimbangan Agraria” yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan batas waktu kerja tiga bulan atau 100 hari. Lembaga ini, menurutnya, harus terdiri dari pakar yang kritis terhadap kebijakan agraria serta bekerja dalam kerahasiaan untuk menganalisis dan memberikan rekomendasi yang objektif mengenai potensi dan masalah sumber daya agraria.

Agustiana menyoroti bahwa penanganan permasalahan agraria sering kali terhambat oleh keterlibatan oknum di dalam pemerintahan. Ia memberi contoh, beberapa menteri yang berjanji memberantas mafia tanah pada awal masa jabatannya sering kali kemudian terjebak dalam kompleksitas masalah agraria. Selain itu, ia mengingatkan bahwa kebijakan agraria yang diterapkan dengan tidak independen dan transparan justru bisa mengakibatkan korupsi dan monopoli, yang berdampak pada masyarakat dan negara.

Sebagai negara agraris yang merdeka dan berdaulat, lanjut Agustiana, komitmen Presiden Prabowo ini adalah langkah awal yang harus diiringi dengan evaluasi independen agar tidak hanya menjadi kelanjutan dari kebijakan sebelumnya, tetapi mampu menanggulangi masalah agraria yang sudah mengakar. Dengan demikian, ia berharap visi ini dapat menjadi terobosan untuk masa depan yang lebih baik, bukan sekadar slogan pembangunan, tetapi nyata dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Ketidaktransparanan dalam Kebijakan Agraria dan Eksploitasi Sumber Daya Alam pada Era Jokowi

Dewan Pakar KPA, Agustiana, menyampaikan bahwa ketidaktransparanan kebijakan agraria dan eksploitasi sumber daya alam pada era pemerintahan Presiden Jokowi berpotensi menciptakan dampak yang sangat serius bagi Indonesia. Menurutnya, minimnya keterbukaan dalam data kepemilikan lahan, batasan operasi, serta perjanjian kerja sama dengan negara lain dalam eksploitasi sumber daya alam bisa mengancam kedaulatan dan kepastian hukum atas lahan serta kekayaan alam Indonesia.

Ketidakjelasan informasi terkait kepemilikan dan batasan kerjasama dapat berujung pada lemahnya kontrol negara atas sumber daya alam yang strategis. Hal ini memudahkan masuknya kepentingan asing yang mengakibatkan penguasaan lahan dan kekayaan alam oleh pihak eksternal, mengorbankan kesejahteraan masyarakat agraris dan kepentingan nasional jangka panjang. Tanpa transparansi yang kuat, potensi monopoli oleh perusahaan besar, baik domestik maupun asing, semakin meningkat, yang pada akhirnya mempersempit akses masyarakat lokal terhadap sumber daya dan lahan yang seharusnya menjadi hak mereka.

Lebih lanjut, ketiadaan transparansi juga menimbulkan ketidakpastian bagi petani, nelayan, dan masyarakat adat yang bergantung pada lahan untuk penghidupan mereka. Hal ini bukan hanya meningkatkan ketimpangan sosial-ekonomi, tetapi juga berpotensi memicu konflik agraria di berbagai wilayah. Ketidakjelasan terkait hak kepemilikan dan batasan operasi juga mengakibatkan sulitnya bagi masyarakat untuk mengakses lahan mereka sendiri, mengancam ketahanan pangan nasional, dan memperlebar kesenjangan antara masyarakat kecil dan kelompok pemodal besar.

Dampak jangka panjang dari kebijakan agraria yang tidak transparan adalah kerusakan ekosistem dan keseimbangan lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya yang tidak berdasarkan prinsip keberlanjutan berisiko menyebabkan bencana lingkungan, yang justru mengancam kesejahteraan seluruh rakyat dan generasi mendatang.

Untuk mencapai visi yang lebih baik dalam pemerintahan Presiden Prabowo, sangat penting dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan agraria sebelumnya. Transparansi harus menjadi kunci agar pengelolaan lahan dan sumber daya alam bisa lebih efektif, berkeadilan, dan berorientasi pada kemakmuran masyarakat serta kelangsungan kehidupan bangsa.

(Agt)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *