Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan dua putusan penting terkait ambang batas parlemen dan usia calon kepala daerah melalui Keputusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024. Komisi II DPR dan KPU sepakat untuk menerapkan putusan ini dengan mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024. Namun, keputusan ini memicu perdebatan karena dianggap bisa memengaruhi peta politik Pilkada.
Pro-Kontra Keputusan MK
Pada 25 Agustus 2024, DPR dan KPU sepakat menerapkan putusan MK. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, dan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mendukung perubahan ini sebagai langkah mematuhi hukum. Namun, beberapa akademisi, seperti Titi Anggraini dari Universitas Indonesia, menilai revisi UU Pilkada oleh DPR untuk mengubah putusan MK sebagai ‘pembangkangan’ terhadap konstitusi. Charles Simabura dari Universitas Andalas menuduh DPR hanya mematuhi putusan MK yang menguntungkan mereka.
Implikasi Bagi Demokrasi
Menerima atau menolak putusan MK ini berdampak besar pada demokrasi Indonesia. Penerimaan putusan bisa dianggap sebagai penegakan hukum yang baik. Namun, penolakan bisa merusak independensi MK dan menimbulkan ketidakpastian hukum, membuka peluang manipulasi politik. Contohnya, pembatalan revisi UU Pilkada pada 22 Agustus 2024 karena rapat DPR tidak mencapai kuorum, memunculkan pertanyaan tentang komitmen parlemen terhadap keputusan hukum.
Dugaan Konspirasi Baleg dengan Kepentingan Jokowi
Ada dugaan bahwa Baleg DPR bersekongkol untuk mengubah aturan demi kepentingan keluarga Presiden Jokowi, khususnya putranya, Kaesang Pangarep, yang ingin maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Kritikus menilai jika revisi undang-undang dilakukan demi individu, ini akan mencederai demokrasi dan menunjukkan praktik nepotisme dalam pemerintahan.
Menurut putusan MK, usia minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun. Kaesang, yang lahir pada 25 Desember 1994, saat ini berusia 29 tahun dan belum memenuhi syarat tersebut. Dugaan adanya perubahan aturan untuk mengakomodasi Kaesang menunjukkan upaya membangun dinasti politik.
Celah dalam Politik
Dalam politik, selalu ada celah yang memungkinkan perubahan arah sesuai kepentingan tertentu. Filsuf politik terkenal, Niccolò Machiavelli, dalam karyanya *The Prince*, menekankan bahwa “tujuan menghalalkan cara” adalah prinsip yang kerap dipegang oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Menurut Machiavelli, politik seringkali bukan tentang moralitas, melainkan tentang realitas kekuasaan dan kesempatan.
Salah satu contoh nyata dari fleksibilitas politik ini terjadi pada masa pemerintahan Nazi di Jerman. Pada 23 Maret 1933, Parlemen Jerman meloloskan *Enabling Act* yang memberikan kekuasaan legislatif kepada Adolf Hitler dan partainya. Meskipun awalnya bertujuan untuk menstabilkan negara, keputusan ini membuka jalan bagi Hitler untuk mengonsolidasikan kekuasaannya secara absolut, menghapus sistem demokrasi, dan menyebabkan kekejaman besar-besaran selama Perang Dunia II. Keputusan ini, yang awalnya dianggap sebagai solusi sementara, justru memicu terjadinya otoritarianisme dan tragedi kemanusiaan.
Contoh lain adalah runtuhnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991. Sebelumnya, pada 19-21 Agustus 1991, terjadi kudeta yang gagal oleh kelompok konservatif dalam Partai Komunis Uni Soviet. Meskipun kudeta itu gagal, gejolak politik yang ditimbulkannya mempercepat disintegrasi Uni Soviet. Upaya para elit untuk mempertahankan kendali malah membuka celah untuk munculnya nasionalisme dan gerakan separatis yang menyebabkan bubarnya Uni Soviet. Harapan banyak orang akan stabilitas justru berbalik menjadi keruntuhan salah satu negara adidaya di dunia.
Mencari Jalan Tengah
Putusan MK tentang Pilkada menekankan pentingnya keseimbangan antara keadilan hukum dan dinamika politik. Semua pihak harus mencari jalan tengah yang menghormati hukum dan aspirasi politik, agar demokrasi Indonesia bisa tumbuh lebih kuat dan berlandaskan keadilan. Politik yang mengorbankan kepentingan publik demi ambisi individu atau kelompok tertentu dapat membuka pintu bagi manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang berpotensi merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Proses ini krusial untuk memastikan demokrasi Indonesia tidak hanya menjadi alat politik bagi segelintir elit, melainkan juga melayani kepentingan rakyat luas
Oleh: Agusto Sulistio
_Senin, 26 Agustus 2024, 07:54 Wib._