Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed.
Memasuki akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencatatkan banyak catatan dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Setelah hampir satu dekade berkuasa, evaluasi terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan sepanjang dua periode pemerintahannya menjadi penting untuk dipertimbangkan. Ketika Jokowi pertama kali terpilih pada tahun 2014, harapan rakyat tinggi, terutama dengan janjinya untuk mendorong pembangunan ekonomi melalui infrastruktur. Namun, seiring berjalannya waktu, kebijakan yang diambil justru menuai kritik keras karena dinilai membawa dampak negatif yang signifikan bagi berbagai sektor ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
*Pemangkasan Subsidi BBM dan Dampaknya (2014)*
Pada awal masa jabatannya, Jokowi mengambil langkah kontroversial dengan memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara besar-besaran pada November 2014. Keputusan ini diambil dengan alasan untuk mengalihkan dana subsidi ke sektor yang lebih produktif seperti infrastruktur. Namun, pemangkasan ini langsung berdampak pada naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok dan meningkatnya inflasi, yang pada saat itu mencapai 8,36% pada Desember 2014. Keputusan ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih lebar di antara lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di kelompok ekonomi menengah ke bawah.
*Pembangunan Infrastruktur Masif dan Ketimpangan (2015-2024)*
Jokowi kemudian fokus pada pembangunan infrastruktur sebagai agenda utama pemerintahannya. Anggaran untuk infrastruktur melonjak hingga 65% pada tahun 2015, dengan alokasi dana yang terus meningkat hingga mencapai Rp455 triliun pada tahun 2023. Beberapa proyek besar seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan mulai dikerjakan. Salah satu proyek yang paling ambisius adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur yang dimulai pada 2019. Namun, di balik proyek-proyek besar ini, ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan semakin terlihat jelas.
Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat di beberapa kota besar, daerah pedesaan tertinggal jauh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks Gini, yang mengukur ketimpangan ekonomi, meningkat menjadi 0,388 pada tahun 2023. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur yang masif tidak dibarengi dengan pemerataan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil.
*Pengesahan UU Cipta Kerja dan Dampak Lingkungan (2020)*
Salah satu kebijakan paling kontroversial yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. UU ini dikenal sebagai “Omnibus Law” karena mencakup perubahan dan penghapusan berbagai regulasi yang sebelumnya dianggap menghambat investasi. Meskipun UU ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, banyak pihak yang menilai bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan para pengusaha dan investor daripada melindungi hak-hak pekerja dan kelestarian lingkungan.
Salah satu pasal yang paling disorot adalah penghapusan kewajiban perusahaan untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada beberapa jenis investasi. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa lingkungan hidup akan semakin terancam oleh aktivitas industri yang tidak terkendali. Di samping itu, hak-hak pekerja juga banyak yang tereduksi, terutama terkait dengan pesangon dan kontrak kerja yang menjadi lebih fleksibel dan rentan terhadap eksploitasi.
*Meningkatnya Utang dan Masalah Pengelolaan Anggaran (2014-2024)*
Salah satu dosa besar lainnya dalam pemerintahan Jokowi adalah pengelolaan anggaran yang tidak prudent, terutama terkait dengan peningkatan utang negara. Pada akhir masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, utang pemerintah tercatat sebesar Rp2.608,8 triliun. Namun, hingga Juni 2024, utang pemerintah Indonesia melonjak drastis menjadi Rp8.444,9 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi menambah utang sebesar hampir Rp6.000 triliun selama satu dekade kepemimpinannya.
Pertumbuhan utang ini tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara yang signifikan, terutama dalam sektor perpajakan. Rasio pajak Indonesia stagnan di angka 10% dari PDB, bahkan sempat di bawah 10% pada 2017 dan 2019. Kondisi ini mengakibatkan beban pembayaran utang yang semakin berat, sementara manfaat yang dirasakan oleh rakyat justru minim.
*Korupsi dan Nepotisme (2019-2024)*
Pada tahun 2019, pemerintahan Jokowi mencatatkan skandal besar dengan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK. Langkah ini menyebabkan perlawanan terhadap korupsi di Indonesia semakin melemah, yang tercermin dalam penurunan peringkat dan skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia. Pada 2019, Indonesia memiliki skor CPI 40/100, yang merupakan yang terbaik selama satu dekade. Namun, pada 2022, skor tersebut turun menjadi 34/100 dengan peringkat turun ke posisi 110 dari 180 negara.
Dampak dari melemahnya pemberantasan korupsi ini bukan hanya pada hilangnya kepercayaan publik, tetapi juga pada meningkatnya biaya investasi yang menjadi lebih mahal karena harus menghadapi praktik korupsi yang semakin merajalela. Hal ini tercermin dalam meningkatnya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang mencapai 6,6 persen pada 2024, mengindikasikan bahwa efisiensi investasi semakin menurun.
*Deindustrialisasi Prematur (2024)*
Deindustrialisasi prematur menjadi dosa terakhir pemerintahan Jokowi yang sangat merugikan sektor manufaktur nasional. Data menunjukkan bahwa share industri manufaktur terhadap PDB nasional turun dari 22% pada 2010 menjadi hanya 18,7% pada 2023. Penurunan ini berdampak langsung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor-sektor industri strategis seperti tekstil dan produk tekstil. Tercatat, selama periode Januari hingga Mei 2024, sebanyak 27,22 ribu tenaga kerja di sektor ini kehilangan pekerjaannya. Kondisi ini mencerminkan melemahnya daya saing industri nasional, yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian negara.
Kesimpulan
Satu dekade pemerintahan Jokowi telah meninggalkan catatan yang kompleks dalam sejarah ekonomi Indonesia. Kebijakan yang diambil, meskipun sering kali memiliki niat baik, ternyata membawa dampak yang jauh dari harapan. Lima dosa besar yang tercatat selama dua periode kepemimpinannya mulai dari pemangkasan subsidi, pembangunan infrastruktur yang tidak merata, pengesahan UU Cipta Kerja, peningkatan utang yang tidak terkendali, hingga melemahnya sektor manufaktur telah menimbulkan kerugian yang mendalam bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi, dosa-dosa ini bisa menjadi warisan yang membebani pemerintahan selanjutnya dan generasi mendatang.
_Kalibata, 8 Agustus 2024, 01.36 Wib._